Kenan, Aku dan Tuhan

Kenan, anakku, sekarang sudah remaja.. 13 tahun lebih umurnya, dan sekarang kami sudah jarang diskusi dan ngobrol ngalor ngidul kayak dulu. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di kamarnya, di depan laptop, teriak-teriak di game, dan pilih-pilih destinasi kalau diajak papi maminya keluar rumah. Jadi, ketika sekali waktu kami punya kesempatan berdiskusi (aku bilang diskusi, karena topiknya agak2 ‘berat’ hehe), banyak hal yang bikin aku terkaget-kaget. Apakah ini hanya anakku, atau memang pemikiran remaja sekarang seperti ini yah..
Cerita berikut adalah salah satu contoh pemikiran dia dari hasil diskusi kami yang terjadi di sepanjang perjalanan bermobil bertiga menuju rumah.

Some people who believe in certain religion, don’t want to believe in Science. And vice versa. Contohnya about the Creation. (p.s, sekarang dia kalau ngomong makin campur-campur antara bahasa Indo dan English). “Science people” believe in Big Bang, while “Religious People” believe in 7 days of Creation by God‘s words. Menurut aku, mengapa itu harus dipertentangkan? Toh bagaimana terjadinya bumi ini tidak ada yang bisa membuktikan kebenarannya? Kecuali memang itu facts yang bisa kita buktikan sama-sama, seperti that fact bahwa Bumi itu bulat. Kan kita bisa sama-sama membuktikan dengan cara ke luar angkasa or however caranya sekarang yang bisa melihat bahwa bentuk bumi itu emang beneran bulat. Tapi terjadinya bumi, itu tidak ada yang benar-benar tahu kan? Jadi mengapa kita harus memaksakan satu pandangan, what’s the end goal? Moreover, in my opinion, some people have religion itu didasari karena rasa takut, ya ga sih? Fear of life, fear of death. Jadi mereka butuh sesuatu sebagai tempat berharap, tempat bergantung karena many things in life are uncertain.

Whoa.. sontak aku speechless. Apa saja yang sudah terjadi di dalam otaknya selama ini?
Tapi apa yang dia bilang, khususnya tentang alasan seseorang beragama, jadi perenungan pribadi buatku. Aku dibawa untuk melihat ulang ke dalam diri. Menilik kembali “alasanku beragama” aka hubungan dengan Tuhan. Apa benar aku selama ini beragama, beriman, menjalin hubungan dengan Tuhan karena didasari rasa takut? Apa yang lebih aku takuti, hidup atau mati? Atau malah keduanya?
Memang rasanya selama ini aku berdoa, baca Kitab Suci, dan beribadah karena aku takut hal-hal buruk menimpa aku. Aku takut dibilang dosa dan nanti masuk neraka.
Bahkan dulu aku juga takut bersentuhan dengan hal-hal spiritual di luar yang aku yakini karena aku takut kalau sampai kemasukan roh jahat, dibilang murtad dan Tuhan tidak mau lagi menyebut aku anakNya. Karena, bila sampai Tuhan meninggalkan aku, kepada siapa aku akan berpaling?
Meski diam-diam dalam hati kecil, aku sering bertanya-tanya, segampang itukah Tuhan sakit hati dan membuang umatNya? Apakah Tuhan menerapkan semacam Helicopter Parenting, dimana anak-anakNya harus hidup dalam gelembung kaca dan tidak boleh bersentuhan dengan dunia di luar gelembung?
Lalu pikiran lain pun datang di kepalaku: atau jangan-jangan selama ini aku melihat Tuhan lebih sebagai gambaran dari sebuah “power” (yang somehow memposisikan aku sebagai pihak powerless) yang hadir selama aku bertumbuh? Yang sering menakut-nakuti, yang suka mengancam, dan yang haus untuk selalu disenangkan hatinya?

Kata-kata Kenan di atas seperti memaksa aku untuk mempertanyakan : Siapa Tuhan itu buatmu? Apakah Tuhan itu gambaran kepastian dalam pikiranmu sendiri yang penuh ketakutan?
Apakah Tuhan seperti yang digambarkan oleh karakter di film-film horor yang sering bawa-bawa salib untuk mengusir vampir? Jadi kalau punya hubungan dengan Tuhan, nasibku akan baik-baik saja dan segala yang buruk akan terusir, seperti vampir itu?
Kuakui, seperti kata Kenan, I need something to hope and hold onto. Di bumi yang “terapung-apung” di angkasa tanpa batas, aku merasa hidup di dunia ini memang serba “terapung”, kadang ke sini, kadang ke sana.. Jadi, aku butuh Tuhan yang aku percayai sebagai Sang Pembuat Bumi dan pencipta diriku, untuk membuat aku sedikit lebih ‘grounded‘ dan mengenal lebih dalam tentang diriku. Sebab siapa yang lebih mengenal diriku selain dari pada Penciptaku? Dan siapa yang lebih tahu bagaimana hidup di atas bumi selain Dia yang membuat bumi?

Namun sepertinya aku butuh relasi yang bukan didasari oleh ketakutan, takut akan hidup, mati bahkan hidup setelah mati. Bukan pula relasi yang didasari oleh kerakusan, hidup serba kelimpahan dan tidak pernah gagal atau sakit. Aku butuh relasi yang lebih damai, yang membuat aku lebih tenang hidup di bumi terapung ini, dan dalam tubuh yang fana ini.
Hmm.. tapi kurasa untuk inipun, aku perlu terus memastikan kembali berulang-ulang ya..

Anyway, terimakasih anakku. Seperti sebelum-sebelumnya, buatku kamu tetaplah malaikat yang mengirimkan banyak pesan untuk aku terus belajar dan bertumbuh di dunia ini. ILY, eternity.

Telur gosong

Kemarin aku sakit. Jarang-jarang aku sakit sampai tergeletak lemas. Kepalaku nyut-nyut dan perutku seperti diremas-remas.

Bersyukur Kenan sudah 10 tahun, sudah bisa goreng telur sendiri, bisa bikin teh sendiri, bisa bikin air panas sendiri. Jadi, waktu maminya gak bisa siapin makan malam, Kenan yang ambil alih.

“Kenan, goreng telur aja buat makan malam ya nak..”

“Siap mam… mami mau telur apa? Setengah matang atau matang?”

“Mami mau mateng aja Ken, mami kan gak terlalu doyan setengah mateng..”

“Oke mam.. siap..”

Gak lama kemudian dia mulai sibuk di dapur. Tapi tiba-tiba dari kamar aku dengar dia teriak, “Mami!!! aduhh… aduhhh sorry ya mami, sorry ya.. ” Tergopoh-gopoh aku keluar kamar kawatir ada yang kebakar di dapur dan mendapati dia sudah berdiri di depanku dengan sebuah telur gosong di piring. Lanjutnya, “sorry mami, telurnya jadi item gini… tapi ini masih enak kok mami, tuh bisa dimakan kok”, sambil dia icip-icip bagian yang gosong itu.

Demi melihat telur yang gosong, aku seketika nanya, “loh kok bisa gosong, biasanya kamu kan pinter bikin perfect egg?”

Dengan cepat dia jawab, “gak tau.. padahal tadi Kenan liat TV cuman sebentar lho.. cuman 20 seconds

Disitu aku menghela nafas.. dan menyahut jengkel, “kalau goreng telur ya ga bisa dong sambil nonton TV”

“sorry ya mami… sorry ya… Kenan bikin lagi aja ya?”

“gak usah deh, I’ll eat it

“Mami jengkel ya? Ekspresi mami kliatan very dissapointed gitu.. Kenan janji gak lagi sambil nonton TV kalau goreng telur, yaa.. Padahal beneran tadi cuma sebentar lho liat TVnya.. sepertinya gak sampai 20 seconds deh” jawabnya dengan nada yang terdengar mulai panik.

“Mami aja kalau masak tiap pagi buat Kenan, gak pernah berani sambil ngeliat2 hape lho Ken.. kamu bikinin mami kok bisa sambil nonton TV, apalagi telur itu matengnya cepet, terang aja gosong” omelku..

“Sorry ya mami.. sorry ya.. ini tukeran sama Kenan aja telurnya”

“Gak ah.. Mami kan gak suka telur setengah mateng. Ga pa pa deh, I’ll eat it

Sambil makan, aku nahan nangis.. di kepalaku yang masih berdenyut-denyut tiba-tiba muncul gambar waktu aku kecil dulu sedang belajar bikin roti bolu. Mungkin waktu itu aku seumur Kenan atau lebih kecil ya, aku lupa. Keluar dari oven, bagian bawah roti itu bener-bener gosong. Padahal waktu itu aku merasa aku perhatikan bener-bener dan gak tau kenapa bisa gosong. Tapi mama marah luar biasa dan intinya bilang bahwa aku buang-buang bahan dan waktu dengan percuma, dia juga tak lupa bilang aku bodoh. Padahal itu kali pertama aku belajar bikin roti. Aku gak ingat apakah waktu itu aku nangis atau gak.. tapi peristiwa itu ternyata tersimpan baik-baik dan kembali terbuka ketika dapat telur gosong dari anakku…

Aku lirik anakku, dia makan sambil matanya gak berani mengarah ke aku. Aku tau, dia menyesal. Tangannya sibuk mainin box cereal baru di meja makan. Aku juga tahu, dia gak berani ajak aku ngobrol seperti biasanya.

“Coba liat Ken, cereal yang baru itu.. isinya bener-bener dua warna gitu ya?”

“Mungkin ya.. plastiknya gak transparant, gak bisa diliat.. tapi dari gambar di boxnya, gitu sih”

“Oh.. eh, tadi hari pertama sekolah, semua anak sudah datang ya, Ken?”

“iya semua datang… dan bla bla bla … ” kemudian kami ngobrol seperti biasa.

Kalimat terakhir dari dia bikin aku trenyuh, “thank you ya Mam, for eating my egg and for smiling while eating” .

“Iya Ken.. makasih ya, sudah gorengin mami telur”.

Dia pun kemudian beresin piring-piring kotor dan dibawa ke dapur.

Melihat dia, aku seperti melihat diriku waktu kecil. Dalam hati aku bilang ke diriku, “Aku memaafkanmu nak, dengan roti gosongmu. Kamu gak bodoh. Tidak ada satu halpun yang kamu buang, karena itulah pengalaman. Kamu sudah belajar. Aku maafkan kamu, hai si kecil yang terluka di dalam sana. Aku maafkan kamu”.

I love you Ken, maafin mami ya nak.. Aku membesarkan kamu dengan sisa sisa luka masa kecil yang belum tertutup sempurna. Dan mami sungguh berterimakasih ke kamu, karena kamulah yang membuat mami mampu menutup luka-luka itu satu, per satu.

when on a date with my son..

Normally we dine out once, twice or thrice a week, only both of us. And during the dinner we usually chat on various subjects.

I consider my 9 year old only son, as an inquisitive boy. He likes to spend time thinking, wandering and then asking things. Well, he doesn’t ask much like he used to when he was younger, but for me his questions now are quite … thoughtful.

Like, “Do you believe that there could be aliens out there?” or “How can I possess daddy’s DNA while I didn’t come from his womb?”

There are times when his questions make me travel far enough within myself since no one has ever asked me such questions. And those are times when he’s like … my best friend? my counselor? my angel? well.. my anything … but a son.

He asked, “mommy, why do you want to have a child when it just makes you lose your fun time with your friends?” ; “mommy, who taught you to have a strong will?” ; “mommy, how did you come to know Jesus?”

When I shared memories of my childhood with him, he just responded, “so, I know why you get angry easily, because you didn’t get much love when you were a kid”.. so, he left me speechless and teary.

And at the end of the day when we were already in bed, he said, “mommy… I love you” .. and my heart was like a melting ice cream.

Soon after, he changed his clothes into pajamas, threw away his clothes on the floor then laid on the bed while playing his action figures. And when I started to lay down by his side, I directly screamed, “oooucchhh!!” .. I got back-stabbed by an action figure.

I am back to reality. He is still 9 year old and he is my son.

With him, I often feel like being split in two worlds… in one world I am a fragile woman in front of a 9 year old boy, in another world I have to keep my sanity in order not to either get back stabbed by an action figure or foot stabbed by a piece of lego on the floor. What a mother’s life…

Sebuah Laboratorium

think-e, sebuah rumah belajar bahasa inggris untuk anak yang saya dirikan hampir 19 tahun lalu, menjadi seperti sebuah laboratorium idealisme saya tentang pendidikan dasar. 

Ketika awal mula berdiri, saya membuat kelas berdurasi satu jam yang banyak diisi dengan aktifitas seperti menyanyi, permainan penuh gerak, percobaan ilmiah sederhana atau hasta karya. Banyak orang tua menanyakan, “sebenarnya ini mau mengajar Bahasa Inggris atau main main sih? Kalau main main saja, di rumah juga bisa kan?” Saya tidak bergeming, toh anak anak sangat happy belajar di think-e dan semua kegiatan disampaikan dalam bahasa Inggris sehingga mereka tidak belajar secara “textbook“. Saya tidak ingin siswa siswi kami belajar bahasa Inggris dengan cara menghapal kosa kata dan belajar menuliskan ejaannya dengan sempurna. Saya ingin mereka belajar melalui kegiatan kegiatan yang menyenangkan bagi mereka. Terlebih, saya tidak yakin bahwa anak anak akan mampu menggunakan sebuah bahasa asing dengan cara menghapal kosa katanya.     

Selanjutnya saya membuat kelas tanpa setting meja kursi dan hanya maksimal 7 anak di dalam kelas dengan satu guru. Banyak orang kembali menanyakan, “kelas kok kosong, hanya pakai karpet, apa kurang modal ya? Kelas kok tidak meriah, gak “fun” gitu ya?” Kembali saya tidak bergeming. Saya yakin yang membuat meriah dan “fun” di kelas bukan meja kursi warna warni ataupun dinding penuh tempelan dekorasi. Saya percaya, yang menghidupkan sebuah kelas adalah “penghuni” kelas tersebut, yaitu siswa dan guru. Siswa siswi akan menggunakan setiap sudut dan sisi di kelas untuk bermain dan belajar, karena itu kami buat kelas “kosong” dan dekorasi hanya ditempatkan diluar ruangan kelas. Fokus perhatian kami adalah “siswa” bukan keindahan ruang kelas.      

Keyakinan saya akan efektifitas setting ruang kelas “kosong” ini bertambah setelah membaca buku “Teach Like Finland” oleh Timothy D. Walker yang diterbitkan pada tahun 2017, dimana ruang kelas di sekolah sekolah Finlandia, yang saat ini menjadi kiblat kesuksesan pendidikan juga dirancang sesederhana mungkin dengan tujuan untuk mengurangi distraksi. Ditambahkan pada halaman 33 buku tsb, “Sebagai guru, saya pikir kita kadang kadang bisa terlalu fokus pada tampilan dari suatu pembelajaran. Kita mungkin justru menghamburkan waktu akibat terobsesi pada dekorasi dan meminta siswa untuk menghias dinding kelas kita, padahal masih ada banyak aspek penting dalam mengajar yang harus dihadirkan”. (Teach Like Finland, hal 33).        

Perihal metode pengajaran yang kami lakukan di kelaspun awalnya menimbulkan pertanyaan, karena sejak tahun 2010 kami mulai menerapkan metode active learning di dalam kelas. Metode active learning ini mengajarkan siswa untuk berpikir kritis dengan cara memberikan pendapat, berdiskusi, memberikan solusi dan memaparkan ide ide mereka atas materi yang sedang diajarkan. Sejak awal metode ini diterapkan di kelas, bahkan sampai dengan saat ini, para guru kami cukup banyak menemui kendala; alasan utamanya lebih karena sebagian besar siswa tidak terbiasa dengan metode seperti ini dalam keseharian mereka. Banyak dari mereka adalah passive learners, yang hanya menerima banyak informasi dari pengajar tanpa banyak kesempatan untuk menyampaikan pendapat. Bahkan terkadang untuk pertanyaan sederhana seperti “Mengapa kamu lebih suka A dibanding B?” bagi sebagian anak membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menjawab.    

Menurut jurnal dari World Economic Forum berjudul The Future of Jobs Report 2018 disebutkan bahwa pada kurang lebih 4 tahun mendatang yaitu pada 2022, dunia kerja membutuhkan banyak ketrampilan yang berbeda dengan saat ini. 

 https://www.weforum.org/reports/the-future-of-jobs-report-2018

Dalam jurnal tersebut ditulis bahwa ketrampilan “active learning and learning strategies” akan banyak dibutuhkan disamping “reasoning, problem solving and ideation“. Sedangkan ketrampilan yang sudah tidak lagi dibutuhkan termasuk “memory, visual, auditory and spatial abilities” (kemampuan mengingat, visual, auditory dan menghubungkan satu objek dengan yang lain).  

Padahal masih banyak anak anak generasi saat ini yang belum dipersiapkan untuk itu. Mereka jarang dilatih untuk berpikir kritis dengan memberikan pendapat, mengkreasi ide, mencari alternatif solusi, melihat dari sudut pandang berbeda dan berpikir diluar kotak. Masih banyak dari mereka yang mengikuti cara pendidikan lama, yaitu menerima berbagai informasi sebanyak banyaknya, menghapal semua informasi tsb dan dinilai berdasarkan banyaknya informasi yang mampu mereka ingat.       

Sampai dengan saat ini, saya masih menjadikan rumah belajar think-e sebuah media untuk turut mengenalkan metode belajar yang anak anak butuhkan untuk masa depan mereka. Seperti yang tersirat dalam jurnal diatas bahwa kemampuan bahasa Inggris nantinya juga akan menjadi tidak berguna bila yang bersangkutan tidak dapat menggunakan bahasa tsb untuk menyampaikan alasan, ide, solusi, dan inisiatif atas bidang yang digeluti; untuk itu siswa siswi di think-e belajar bahasa Inggris untuk kemampuan survival mereka di masa mendatang, bukan untuk mengejar nilai akademis di sekolah atau bahkan untuk sebuah piala lomba bahasa Inggris.     

Ketrampilan active learning (belajar aktif) seperti yang disebutkan dalam jurnal adalah sebuah ketrampilan yang perlu dilatih sejak dini. Cara berpikir kritis tentunya tidak dapat tiba tiba muncul bila tidak pernah dilatih. Karena itu, siswa siswi kecil kami tidak diajarkan bahwa “lion sama dengan singa”. Tidak hanya diajarkan bahwa “lion has 4 legs and lives in the jungle or zoo“. Tapi kami mencoba menanyakan pengalaman siswa “Where do you see lion?” dan kemudian mengeksplorasi pendapatnya “Is it possible to keep a lion in a house? Why/ Why not?“. Kami mengajukan pertanyaan pertanyaan yang memancing siswa untuk berpikir dan kemudian memberikan pendapat karena kami merasa hal tersebut jauh lebih penting daripada sekedar informasi yang saat ini mereka bisa dapatkan dengan mudah dari internet.    

Saya percaya anak anak hidup di saat ini dan untuk masa depan. Dan  selama saya masih bersentuhan dengan pendidikan dan anak anak, saya ingin memastikan bahwa setidaknya siswa siswi kami tidak dididik menggunakan pola pendidikan masa lalu. Pun bila mereka masih dididik dengan pola pendidikan masa lalu, saya tetap akan mengenalkan pola pendidikan saat ini untuk masa depan, meskipun itu tidak mudah dan tidak “komersil” tentunya… 

Salam pendidikan.     

There is no perfect marriage..

Seorang ayah menasihati putrinya, “there is no perfect marriage”. Tidak ada pernikahan yang sempurna. Saya tambahkan.. berapapun usia pernikahannya, tidak ada pernikahan yang sempurna. Berapapun jumlah anak yang dimiliki atau bahkan tidak ada sama sekali, apapun kondisi anak, bagaimanapun kondisi keuangan keluarga, ; semua itu tidak menentukan kesempurnaan dfor my blog 6alam sebuah pernikahan.

Akan ada saat saat dimana kita lelah untuk mendengar, lelah untuk memberitahu, lelah untuk mengalah, lelah untuk diam, lelah berjalan di sampingnya, lelah untuk selalu seia sekata, seiring sejalan, dan banyak hal lainnya yang membuat malam terasa panjang dan makanan terasa hambar.

Anak anak, menurut saya, tidak ada diluar lingkaran pernikahan; yang hanya boleh melihat segala yang baik, ayah ibu yang tidak pernah berselisih, tidak pernah saling marah, tidak pernah menangis… Anak anak adalah bagian dari pernikahan yang karena itu juga belajar bahwa hubungan ayah ibu tidak selalu mulus, tidak selalu berjalan baik. Anak anak juga perlu melihat sebuah hubungan pernikahan seutuhnya, baik yang baik maupun yang buruk.

Tapi bagaimanapun sebagai orang tua, kita juga perlu membiarkan anak melihat bahwa benar, tidak ada pernikahan yang sempurna, tapi ayah dan ibu tidak menyerah satu sama lain. Ayah ibu tidak menyerah begitu saja pada konflik dan tantangan dalam pernikahan. Ayah dan ibu mampu mengatasi sesuatu yang tidak sempurna, mampu pulih, mampu ikhlas, mampu mengalahkan ego demi sebuah keluarga. Karena pernikahan sudah bukan lagi soal aku, tapi kita.. tidak lagi satu, tapi dua, tiga, empat atau lima..

Pelajarannya adalah, semoga kelak bila dia masuk dalam kehidupan pernikahan, dia tahu bahwa bagaimanapun tidak sempurnanya sebuah pernikahan, dia tidak akan begitu saja menyerah, sebagaimana ayah dan ibunya.

 

.

 

 

Kurikulum Apa?

Ketika Kenan masih di bangku taman kanak kanak, saya termasuk ortu yang apriori dengan sekolah berkurikulum asing. Saya merasa sudah cukup mendengar beberapa cerita (dan juga melihat beberapa anak yang bersekolah disana) yang menyatakan bahwa setelah sekian tahun anak belajar di sekolah internasional, mereka mengalami kesulitan berbahasa Indonesia, tidak familiar dengan nama nama pendiri bangsa ini, pun orientasi mereka terlalu berkiblat pada banyak hal yang berlabel “luar negeri”. Duhh…. gak lah… selain mahal, sepertinya memang bukan itu tujuan saya menyekolahkan anak.

Beberapa tahun kemudian, tiba saatnya Kenan naik ke Sekolah Dasar. Saya dan suami lebih dari mantap mendaftarkan dia di sebuah sekolah swasta nasional yang masih menggunakan kurikulum lama dengan pertimbangan Kenan akan belajar banyak hal di sekolah nasional; disamping pergaulan yang beragam, dia juga akan belajar mendapat pelajaran kebangsaan seperti upacara bendera, bahasa daerah, sejarah nasional dan pramuka. Namun setelah beberapa waktu belajar di sekolah tsb, saya mulai resah. Keresahan ini timbul lebih karena proses belajar mengajar yang membuat Kenan sedikit tertekan sedangkan saya sendiri merasa proses belajar tidak sejalan dengan konsep yang saya ajarkan di rumah. Banyaknya tugas dan ulangan yang sangat menyita waktu, pelajaran yang harus dihapalkan tanpa dia perlu mengerti konsepnya juga nyaris tidak adanya kesempatan buat Kenan untuk mempertanyakan ini dan itu di kelas. Belum lagi pelajaran yang seharusnya digunakan untuk mengenalkan akar budaya bangsa, menjadi serangkaian kata kata sulit untuk dihapalkan hanya demi sebuah nilai yang pada akhirnya tidak membuat Kenan mengenal akarnya, malah justru ingin menjauh karena terasa sangat asing untuknya.

Akhirnya setelah dua tahun saya mengalami kegalauan, saya dan suami mulai mencari cari sekolah yang sekiranya punya metode belajar yang lebih cocok untuk Kenan, yang bisa membuat dia menikmati sekolahnya dan dapat mengambil manfaat dari pendidikan yang dijalaninya. Selanjutnya kami pun melakukan survey ke beberapa sekolah di kota kami dan melakukan serangkaian tanya jawab dengan pihak sekolah, sampai kami memutuskan memindahkan Kenan ke sekolah berkurikulum Cambridge.

Mengapa akhirnya menjatuhkan pilihan pada kurikulum asing? Menurut hasil pencarian kami baik lewat google , survey dan tanya jawab dengan pihak sekolah, saya merasa objectives dari kurikulum ini paling jelas dan gamblang. Metode belajarnya yang dua arah memampukan siswa untuk berdiskusi, memberikan pendapat, menganalisa dan melakukan percobaan atau projek projek bersama. Kelemahannya ada pada hal yang seperti saya kawatirkan sebelumnya yaitu anak jadi kehilangan “akar budaya lokal”. Namun ternyata hal tsb masih bisa diantisipasi. Dengan tugas sekolah yang tidak membebani, kami masih punya banyak waktu dengan Kenan untuk mengeksplorasi hal yang tidak diajarkan di sekolah. Seperti ketika dalam perjalanan bermobil, papanya mengenalkan sejarah dengan bercerita tentang perjuangan bangsa Indonesia. Bagaimana Pangeran Diponegoro atau Jendral Sudirman berjuang, bagaimana keadaan bangsa ketika dijajah, juga kami memanfaatkan waktu liburan dengan mengunjungi candi dan belajar bersama sama. Saat ini kami sedang mencoba mengenalkan wayang, kisah Mahabharata dan beberapa legenda di Indonesia.

Buat saya pribadi, saya cukup menyayangkan bahwa metode kurikulum seperti Cambridge ini tidak diadopsi atau setidaknya coba dikembangkan di sekolah lokal yang dapat terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Akan sangat menyenangkan bila metode belajar di sekolah sekolah di Indonesia memberikan kesempatan siswa untuk berpendapat, menganalisa bahkan melibatkan orang tua dalam berdiskusi mengenai suatu topik atau projek. Karena buat saya, sekolah dan guru sekarang bukan satu satunya sumber ilmu. Kurikulum bukanlah kitab suci. Bahkan dalam pendidikan dasar keterlibatan orang tua memegang peranan yang jauh lebih penting. Saya membayangkan betapa ideal sebuah pendidikan bila orang tua dan guru bekerja sama mendidik anak yang sama. Bukan dengan posisi seperti saat ini dimana orang tua hanya berperan dalam mengupayakan agar urusan sekolah anaknya lancar. Dan sekolah mengupayakan agar biaya yang sudah dikeluarkan oleh orang tua tidak sia sia. Jadi sepertinya yang utama saat ini bukan pendidikannya tapi urusan sekolahnya. Tugas lancar, test lancar, nilai baik dan naik kelas. Padahal sejatinya pendidikan lebih daripada itu, bukan?

Yang ingin saya bagikan disini sebenarnya adalah bahwa menurut saya, pendidikan dasar harus tetap di tangan orang tua, bukan sekolah. Ketika porsi mendidik di rumah sudah direbut oleh “sekolah” atas nama pekerjaan rumah dan serangkaian ulangan yang menyita waktunya belajar dengan orang tua ditambah lagi dengan konsep mendidik yang berbeda antara di rumah dan di sekolah, disitulah orang tua harus mulai mempertanyakan, sudah benarkah proses yang sedang dijalani ini?  Jangan pada akhirnya bila terjadi kegagalan atau lain hal, pihak orang tua menyalahkan sekolah karena mendidik dengan tidak benar dan sebaliknya pihak sekolah menyalahkan orang tua karena tidak menanamkan nilai nilai yang baik. Bila dua pihak yang paling berkepentingan dengan anak sudah saling menyalahkan, apa yang akan terjadi pada anak? Kurikulum terbaik sekalipun tidak akan mampu mengulang pendidikan dari awal.


Pendidikan bukan soal kurikulum. Kurikulum hanyalah alat. Pendidikan adalah soal siswa.


Kolaborasi atau Kompetisi?

Beberapa waktu lalu sepulang sekolah, Kenan (9th) bercerita dengan antusias bahwa dia dan salah seorang teman diminta oleh guru matematikanya membentuk sebuah kelompok matematika di kelasnya. Kegiatannya adalah belajar matematika bersama dan membantu teman teman yang kesulitan dengan topik yang sedang dipelajari di kelas. Kegiatan tersebut diadakan rutin 3 sampai 4 kali seminggu selepas istirahat makan siang. Cerita ini mengingatkan saya ketika masih duduk di bangku SMP dimana saya juga punya kelompok belajar. Biasanya kelompok ini dibentuk saat mendekati masa masa ulangan dan karena kelompok ini merupakan inisiatif kami sendiri, maka kelompok belajar kami ya sama dengan kelompok main. Satu geng begitu istilah kala itu…

Saat itu saya tidak pernah menyadari bahwa kelompok belajar seperti itu sebenarnya mengajarkan banyak hal. Kami belajar cara bekerja sama dan toleransi, ada yang menyediakan tempat, menyediakan makanan kecil, ada yang mencari soal dan kemudian kami juga sama sama mendengarkan teman yang ahli dalam memecahkan soal tsb. Meski sejak dulu kami mengenal sistem peringkat yang dikenal dengan istilah “ranking” di kelas, toh hal itu tidak menghalangi teman kami, si ranking 1, untuk berbagi ilmu dengan kami, golongan ranking belasan. Tambahan lagi sebagai si ranking 1 sepertinya kegiatan dia waktu itu tidak banyak, belum ada berbagai macam lomba dan olimpiade yang harus diikuti sehingga dia masih punya banyak waktu untuk membimbing teman teman gengnya. Namun sayangnya, kelompok belajar kami bubar bila tidak ada ulangan, meski sabagai geng kami tidak bubar….

Ketika mendengar cerita Kenan soal kelompok belajarnya, saya merasa turut bersemangat. Karena disamping kelompok matematika ini, Kenan juga sering diberikan berbagai projek yang harus dilakukan dalam kelompok. Menurut saya, memang sudah seharusnya sekolah menginisiasi lahirnya kelompok kelompok belajar bersama sejak usia sekolah dasar, supaya anak anak terlatih untuk bekerja sama sejak dini.

Jujur saya cukup menyayangkan metode pendidikan kita yang masih menitikberatkan pada sistem kompetisi. Hampir semua subjek pelajaran dikompetisikan. Matematika, Science, Bahasa Inggris, Geografi, Fisika, Kimia dan  banyak lagi. Kita sibuk mencari si ranking satu, yang terpintar di tingkat sekolah, kabupaten, kotamadya, provinsi sampai nasional. Kita sibuk mengumpulkan orang orang pintar dan jenius dalam satu kelas, digodok habis habisan, dilatih berpuluh jam untuk memenangkan gelar “terpintar”.

Memang tidak salah bila sekolah memicu kompetisi diantara para siswa agar muncul siswa siswa yang dapat mengharumkan nama sekolah dan kelak juga dapat mengharumkan nama bangsa, pun tidak ada salahnya bila para orang tua turut mendorong kompetisi ini begitu rupa agar anaknya mendapat berbagai kemudahan sebagai siswa terpintar. Terlebih lagi bahwa ternyata seperti yang saya baca di sebuah media cetak, rata rata para siswa jenius tsb sangat menikmati pelatihan keras yang diberikan sebagai “challenge” untuk batasan kemampuan mereka. Semua itu baik dan kita turut bangga dengan segala pencapaian mereka. Kita takjub dengan lahirnya anak anak “prodigy” yang menginspirasi jutaan anak lain di luar sana. Tapi sesudah itu apa?

Saya meyakini bahwa dalam dunia kerja di jaman industri 4.0, kecerdasan akademik saja tidak akan mencukupi. Ketika semakin banyak pekerjaan diselesaikan oleh robot dan kecerdasan buatannya, maka generasi mendatang perlu ketrampilan yang lebih dari sekedar “kecerdasan” (intelektual) itu sendiri. Mereka butuh kemampuan untuk berkolaborasi, mengkoordinir team (termasuk memetakan kemampuan anggota team), bernegosiasi dan mediasi.

Meskipun saat ini banyak dari kita yang meyakini bahwa EQ (Kecerdasan Emosional) lebih penting daripada IQ (Kecerdasan Intelektual) namun EQ masih dianggap sebagai tanggung jawab penuh dari orang tua sebagai bagian dari pengasuhan dalam keluarga. Sedangkan menurut saya, pendidikan seorang anak sebenarnya tidak bisa dipisahkan antara di rumah dan di sekolah. Untuk itu, saya yakin kemampuan kolaborasi yang juga masuk dalam faktor EQ perlu diajarkan baik di rumah begitu pula di sekolah. Bahkan saya menilai keterampilan kolaborasi mendesak untuk dimasukkan sebagai subjek ajar dalam kurikulum sekolah dan bukan hanya untuk beberapa siswa pilihan yang dipercaya untuk terjun dalam organisasi sekolah.

Pendidikan masa kini adalah untuk masa depan yang menurut saya sudah tidak lagi memberikan cukup ruang untuk terus berkompetisi. Dunia (tidak hanya dunia kerja) yang akan datang tidak lagi membutuhkan manusia yang tercepat, terkuat, atau terpintar, karena bila demikian adanya kita akan harus bersaing berat dengan  para manusia metal. Kita justru membutuhkan kerja bersama untuk sesuatu yang lebih baik, kehidupan yang lebih baik dan dunia yang lebih baik. Dunia masa depan diantara jutaan robot berkecerdasan buatan akan menjadi ajang pembuktian bahwa manusia mampu bekerja sama untuk membantu sesamanya, suatu hal yang akan menjadi pembeda kita, manusia, dari robot.

Gak Capek, ya?

Suatu hari saya mengobrol dengan seorang teman lama yang memiliki anak usia SD hampir menuju SMP. Dia bercerita bahwa kegiatan anaknya di luar sekolah banyak sekali, dari les matematika, les pelajaran sekolah, les bahasa Inggris, bahasa Mandarin, les olah raga, musik, menggambar, robot.. wahh… saya cukup melongo dibuatnya. Tapi dia juga menambahkan bahwa itu masih lebih mending dibanding anak temannya yang lain yang tetap ada kegiatan les di hari Minggu. Sedangkan anaknya masih ada libur les di hari Minggu. Ketika saya tanya, apakah anaknya gak capek. Teman saya menjawab, “gaklah, toh dia masih bisa main handphone atau kadang kadang sepedaan di seputaran rumah. Yang penting kan dia masih punya waktu untuk main, ya kan?”

Kemudian beberapa waktu lalu kami bertemu lagi dan kembali mengobrol soal anak. Dia bercerita bahwa nilai nilai anaknya di sekolah sedang menurun. Saya merespon, “apa mungkin dia terlalu capek?” Dia langsung menjawab, “Gak lah, dia masih bisa main kok.. Sepertinya pelajarannya mulai susah atau gurunya yang kurang bisa menjelaskan”. Lanjut saya, “Apakah kamu sudah pernah tanya ke anakmu?” Jawabnya, “aku harus tanya apa ya, paling aku tanya.. kenapa nilai matematikamu hanya dapat 7?” “Dan dia jawab apa?”.  “ya dia cuma jawab, iya susah.. udah cuma gitu aja”. “Ooooh…” saya hanya bisa menjawab dengan oh yang panjang.

Terus terang, pembicaraan seperti dengan teman lama saya ini bukan pertama kali saya alami. Beberapa kali saya berbincang dengan orang tua yang memiliki cerita yang kurang lebih sama ; memiliki anak yang punya sejumlah les atau kegiatan yang sangat padat dengan waktu bermain yang tidak signifikan (menurut saya) dan merasa bahwa semua itu baik untuk masa depan anak anak mereka. Kata mereka.. “well, toh saya dulu juga dibesarkan dengan cara yang sama dan saya baik baik saja tuh.. malah teman teman lain yang punya kegiatan padat juga banyak yang sukses lho..”

 

Saya tidak menafikan bahwa les les itu penting untuk bekal ketrampilan anak di masa depan, juga kegiatan yang padat (mungkin) dapat melatih anak untuk dapat mengatur waktu dan berdisiplin. Tetapi yang saya ingin pertanyakan disini adalah perihal pendapat anak. Apa sebenarnya pendapat mereka mengenai seabreg kegiatan yang disodorkan ke mereka? Apakah anak benar benar tidak tahu apa apa soal masa depannya dan hanya orang tualah yang paling tahu apa yang terbaik untuk anak anaknya atau karena orang tua memang tidak mau mencari tahu? Bukan bermaksud menghakimi, namun saya sering menemui orang tua yang bertanya pada anaknya dengan nada yang lebih “threatening“, seperti : “kamu les ini ya? ini bagus buat kamu, daripada kamu di rumah juga paling cuman nonton TV atau main handphone. Ya kan?” dan si anak pun tanpa pilihan terpaksa menjawab “yaaaa…” (dengan nada panjang).

Sedikit tambahan cerita, saya juga pernah bertemu dengan beberapa orang tua yang sudah memiliki rencana pasti untuk anaknya sampai jenjang SMA atau bahkan kuliah.  Bahwa nanti anaknya akan meneruskan SMP disini, SMA disitu, dan kuliah disana. Saya pun bertanya, “apa kata anakmu soal rencanamu itu?” Dan mereka menjawab, “Apa pentingnya? Mereka gak akan tahu yang terbaik buat diri mereka, kan?” Memang benar begitu, ya?

Sejak saya memahami arti kata “bullying“, saya menyadari betul bahwa orang tua juga bisa berlaku sebagai “bully” terhadap anaknya. Mungkin saya perlu ingatkan bahwa “bullying atau perundungan” adalah penggunaan kekuasaan untuk menguasai pihak lain (Bullying is the use of force to dominate others – Wikipedia). Di dalam keluarga, tidak jarang anak menjadi pihak yang seolah tidak berdaya. Dia tidak punya suara, tidak punya pilihan, tidak punya pendapat, bahkan hak yang paling penting, yaitu bermain pun sering terampas. Bermain hanya dilihat dari sisi orang tua, yaitu sebagai “hadiah” setelah melalui hari atau minggu yang padat dan jarang dilihat dari sisi anak, yaitu sebagai “kebutuhan” karena dari bermain sebenarnya anak belajar tentang kehidupan diluar konteks, berinteraksi dan berimajinasi.

Di kelas kelas yang ada di rumah belajar kami, saya banyak menemukan siswa dari usia dini sampai belasan tahun yang senang bila diajak berlarian di kelas. Mereka sangat antusias dalam bermain bahkan untuk sekedar mencari jawaban dengan melompat atau berlomba menyambar sebuah squeeze toy  (mainan yang memekik ketika ditekan) mampu membuat mereka enggan mengakhiri kelas. Mereka tampak haus untuk bermain dan bergerak. Namun, ketika mereka sudah berada sendiri di luar kelas entah menunggu jemputan atau menunggu kelas berikutnya, banyak dari mereka yang menghabiskan waktunya hanya dengan duduk dan bermain gadget. Dengan kegiatan yang terbiasa padat dan diatur per menit per jam, mereka menjadi seperti hilang ide tentang apa yang bisa mereka lakukan diantara waktu jeda tsb, sekalipun itu menyangkut dunia mereka sendiri, yaitu bermain. Gadget adalah pilihan paling mudah, karena di dalamnya sudah tersedia berbagai macam permainan yang membuat anak seperti dalam kebiasaan mereka sehari hari, yaitu cukup mengikuti instruksi yang ada.

Beberapa orang tua lain lagi juga mengeluhkan tentang anaknya yang sering menjawab dengan kata “hmm” atau “gak tau” atau “ya terserah mama” atau paling panjang adalah “ya begitu begitu saja seperti biasa. Gak ada yang special”. Terlebih untuk orang tua yang anak anaknya mulai mendekati pra remaja. Mereka bilang, “duh… udah mau abg nih, diajak ngomong sudah susah” atau yang agak ekstrim “duh… anak sekarang gak punya pendirian sendiri yah..”  Waduh, berat juga ya…

Pengalaman saya menjadi guru selama kurang lebih 18 tahun dan bertemu dengan anak anak dengan berbagai macam karakter, membuat saya paham bahwa seperti orang dewasa, anak tidak suka pertanyaan retoris atau pertanyaan yang jawabannya tidak dapat memuaskan penanya. Seperti, “kok matematikanya dapat jelek sih?” Kira kira jawaban apa yang diinginkan oleh penanya? Kalau dijawab, “ya aku gak bisa” Pasti akan dijawab lagi, “kamu kurang sungguh sungguh belajarnya sih”. Atau pertanyaan seperti, “bagaimana sekolahmu hari ini?” mmmm… sekolah yang mana yaa? sekolah itu ada teman, ada guru, ada pelajaran yang menyebalkan, ada test yang terlalu susah, ada toilet rusak, ada menu baru di kantin.. jadi untuk tidak memperpanjang masalah akan dijawab “yah.. seperti biasa aja”.

Seorang psikolog yang biasa menangani anak anak broken home, pernah menyampaikan, “jika ingin berkomunikasi dengan anak, jangan mengajukan daftar pertanyaan seperti polisi yang sedang menginterogasi tersangka tapi carilah waktu untuk benar benar mengobrol”. Hal ini diuji coba oleh beberapa guru terhadap sejumlah siswa yang terkenal pendiam di rumah belajar kami. Ternyata mereka mau membuka diri setelah guru mengajak mengobrol tentang hal yang mereka sukai, seperti “Eh, kemarin kucing Miss melahirkan lho, anaknya tiga ihhh masih merah begitu..” Kemudian si anak yang juga punya peliharaan kucing, akan menyambung “baby kucing kan memang merah begitu Miss.. kucingku….. bla bla bla..” Barulah dia mau bercerita mengenai banyak hal lainnya.

Menurut saya, penting bagi anak untuk diberi kesempatan untuk bersuara, menyatakan pendapat, memberikan pilihan dan juga untuk mengeksplorasi dunianya. Saya yakin, anak yang tumbuh dengan dihargai akan menjadi orang dewasa yang sangat menghargai dirinya sendiri dan orang orang di sekitarnya.

Semangat ya parents. Save our future generation.

Sekolah untuk masa depan atau masa lalu?

 

Saya adalah produk sekolah jaman dulu… dulu, jauh sebelum reformasi, jauh sebelum krisis moneter. Dulu, ketika satu kelas masih berisi 40 anak, duduk menghadap satu tembok yang terpasang papan tulis besar, dan guru duduk di sudut depan dengan meja yang lebih tinggi daripada meja murid muridnya. Dulu, dimana ketika masa ulangan tiba, saya harus mencari ruangan sepi di rumah untuk bisa menghapal berlembar lembar halaman buku dengan cara membacanya dengan bersuara, setidaknya saya harus mendengar suara saya sendiri untuk mengingat. Dulu, ketika murid terbaik pastilah murid yang tidak pernah ribut di kelas, tidak pernah ngantuk, selalu mendengarkan penjelasan guru dan mengerjakan soal sesuai cara yang sudah dijelaskan. Dulu, ketika pembagian hasil ulangan adalah salah satu momen yang paling menentukan mood hari itu. Dulu, yaitu ketika arti pendidikan di sekolah adalah satu arah, atas ke bawah. Guru ke murid. Murid tidak berdaya bila guru sudah bersabda.

Sekarang, kurang lebih tiga dekade kemudian, giliran anak saya yang sekolah di sekolah dasar. Saya mengamati banyak perubahan di pendidikan sekolah jaman sekarang. Yang paling kentara adalah banyaknya kekerasan terjadi di sekolah. Sekarang bukan hanya guru ke murid, tapi juga murid ke guru. Orang tua sekarang juga lebih banyak terlibat di sekolah, tapi bukan keterlibatan dalam mengajarkan sesuatu bersama sama, tapi lebih ke bentuk protes ke guru, kepala sekolah dan sekolah. Baik protes soal nilai, soal teguran guru ke murid, soal fasilitas sekolah, soal kurangnya keamanan bahkan beberapa orang tua sekarang berani melawan otoritas sekolah dengan memukul guru atau kepala sekolah.

Tapi bagaimana di dalam ruang kelas sendiri? Melihat pengalaman sekolah anak saya, juga banyak murid saya yang lain di beberapa sekolah berbeda, saya mendapati hal yang nyaris sama dengan tiga dekade lalu. Beberapa kelas masih memuat lebih dari 30 anak yang ditangani satu guru, siswa masih duduk menghadap satu center yang sama (beberapa sekolah bagus sekarang sudah tidak memakai papan tulis berkapur, tapi whiteboard), siswa juga masih dituntut untuk duduk tenang, tidak berisik, tidak mengantuk selama pelajaran dan mendengarkan penjelasan guru serta mengerjakan soal sesuai cara guru.  Mereka juga masih melalui masa masa ulangan yang menuntut mereka untuk menghapalkan beberapa lembar halaman dari satu buku atau lebih. Mood mereka juga masih sering ditentukan oleh nilai yang dibagi hari itu. Dan intinya, arti pendidikan di sekolah juga masih sama, yaitu satu arah. Guru ke murid.

Ketika orang menggembar gemborkan perubahan dunia, bahwa sekarang orang dituntut lebih kreatif dan inovatif agar bisa bersaing di dunia kerja dan  orang percaya bahwa banyak pekerjaan yang dahulu (bahkan saat ini) sangat diminati akan menghilang di masa depan; pun orang percaya bahwa komputer, digitalisasi sampai kecerdasan buatan sudah mulai menguasai dunia; orang juga masih percaya bahwa pendidikan sekolah yang tidak pernah berubah sejak tiga dekade lalu akan baik baik saja dan anak anak tetap akan berhasil di dunia yang sudah jauh berubah sejak tiga dekade lalu.

Di tempat belajar bahasa Inggris untuk anak yang saya dirikan sejak 18 tahun lalu, saya mencoba menerapkan sesuatu yang berbeda dengan cara belajar kebanyakan. Rumah belajar kami bukanlah sekolah dan jumlah pertemuan dengan siswa rata rata hanya dua kali seminggu dengan durasi 1 jam setiap pertemuan. Dengan media bahasa Inggris, kami ingin mencoba mendengar anak anak berpendapat terhadap suatu topik, menceritakan pengalamannya, memahami sesuatu diluar apa yang tertulis, juga mempertanyakan hal hal yang diterimanya. Saya mencoba setting kelas tanpa meja dan kursi yang mengharuskan seorang guru dan siswa yang tidak lebih dari 10 orang jumlahnya duduk sejajar. Di dalam kelas kami menerapkan cara belajar dua arah dimana guru selalu melakukan sesi brainstorming sebelum mengenalkan suatu topik. Ternyata kami mendapati bahwa untuk banyak anak yang baru masuk dan baru mengenal model belajar seperti ini, pertanyaan pertanyaan mengenai pendapat pribadi dijawab dengan “tidak tahu” atau jawaban yang sangat tidak spesifik, seperti:

“Apakah kamu suka ini? Mengapa kamu suka ini dibanding itu?”  : emmmmm…… karena bagus. karena enak.

“Apa yang kamu bisa ceritakan tentang adikmu?” : emmmmm… dia kecil.. dia nakal.

“Bagaimana liburanmu?” emmm.. baik. “Coba ceritakan tentang spot yang paling menarik yang kamu lihat ketika liburan” emmm… itu bagus.

Jawaban jawaban mengenai pertanyaan seputar pendapat pribadi tidak mudah diungkapkan dan ini saya sadari bukan karena kendala bahasa, karena pada awal mereka masuk kami masih mentolerir penggunaan bahasa Ibu, khususnya dalam mengungkapkan pendapat atau perasaan. Belum lagi bila sudah menyangkut keterampilan Reading/ Listening Comprehension, siswa mengalami kesulitan untuk menjawab pertanyaan diluar teks, bahkan untuk siswa siswa “ranking” di sekolah mereka sekalipun. Tantangan lebih besar ditemui ketika Writing skill, dimana mereka diminta menuliskan opini atau membeberkan imajinasi mereka dengan detail. .

Ketika saya bertanya pada mereka mengenai pengalaman belajar mereka di kelas, rata rata mereka bercerita bahwa mereka jarang sekali diberi kesempatan berbicara di kelas dan ketika mereka diminta mengajukan pertanyaan setiap guru selesai menjelaskan, rata rata mereka tidak tahu apa yang mau ditanyakan dan tentu saja mereka tidak boleh bertanya hal lain diluar topik.

Mungkin bagi sebagian orang, tidaklah penting untuk membuat anak anak kritis, mengemukakan pendapat dan mampu menganalisa suatu materi . Tapi buat saya, ini sangat penting. Dulu ketika anak saya kecil, saya tidak terlalu pusing soal sekolah. Saya berpikir bahwa sekolah dimana mana sama saja yang penting exposure yang saya berikan di rumah. Namun ketika anak saya mulai masuk tingkat sekolah dasar, masalah sekolah ini menjadi kegalauan tersendiri buat saya. Waktu yang anak saya habiskan di sekolah sehari hari ditambah dengan beban tugas dan ulangan yang diberikan tidak memberikan ruang yang cukup untuk saya memberikan exposure yang memadai. Belum lagi cara belajar dan budaya di sekolahnya lebih tertanam dalam pemikirannya dibanding dengan cara yang coba saya lakukan di rumah. Sebenarnya yang membuat saya galau dan merasa membutuhkan waktu khusus untuk memberikan exposure lebih ke anak saya adalah karena sistem yang diterapkan di sekolahnya sama persis dengan yang saya terima lebih dari 30 tahun lalu tsb. Bahkan ketika saya bertanya, “mengapa kamu jawab A?” “ya tidak tahu, Bu Guru suruhnya begitu”. “jawaban  B mungkin juga bisa kan ya?” “tadinya aku pikir gitu, tapi waktu aku tulis B, Bu Guru langsung coret” “kamu gak tanya?” “kata Bu Guru, kan di buku sudah ditulis begitu”. Dan dia melanjutkan, “sudahlah mami gak usah tanya tanya, yang penting nilaiku bagus. Aku malu nanti kalau dibacain di kelas dan nilaiku jelek”  Disitu saya merasa sedih, kecewa dan galau tentunya. Terlebih lagi ketika ulangan tiba dan dia diminta menghapalkan sekumpulan informasi sebagai bahan ulangan. Baiklah, ketika jaman saya dulu, Google belum lahir. Informasi sangat terbatas dan tidak selalu berubah. Jadi, memang benar bahwa waktu itu kami harus menghapalkan informasi, supaya kami punya pengetahuan. Namun jaman sekarang? Informasi datang seperti arus sungai, begitu cepat berubah pun kita dapat mengakses sumber sumber informasi dari berbagai jejaring laba laba itu. Saya justru setuju, bila guru menuntun siswa untuk mengenali sumber informasi yang terpercaya, sahih dan mampu membaca data.

Akhirnya memang saya putuskan untuk mencari sekolah lain untuk anak saya, selain karena kegalauan saya, dia sendiri tidak pernah merasa antusias bersekolah. Setelah saya berkeliling mencari sekolah, akhirnya saya ke menemukan sekolah yang memiliki metode dua arah, memberikan waktu untuk anak berdiskusi, menganalisa dan berpraktek. Mereka juga memampukan anak bertanya serta menuangkan sejumlah imajinasinya ke dalam tulisan. Dan anak saya seperti menemukan habitatnya, sekolah adalah tempat dia mencari tahu dan bereksperimen. Memang lalu kami harus merogoh kocek lebih dalam untuk ini, tapi bagaimana lagi, ini adalah sebuah investasi jangka panjang. Karena menurut kami, bersekolah tidak hanya mencari ilmu, tapi membentuk cara pandang, budaya, perilaku dan cara memaknai sesuatu. Saya sungguh rindu bahwa sekolah dengan model seperti ini tidak harus mahal dan bisa dinikmati semua anak, karena inti sebenarnya dari sekolah bukan pada kurikulum tapi pada cara penyampaiannya.

Salah satu ucapan Nelson Mandela, Bapak Perdamaian Dunia, tentang pendidikan yang cukup tersohor adalah “education is the most powerful weapon to change the world“. Saya percaya kata kata ini. Ketika dalam sebuah perhelatan olah raga yang diikuti oleh atlet Indonesia dan atlet luar negeri, kekalahan atlet sangat menunjukkan budaya pendidikan suatu bangsa. Dalam sebuah edisi majalah National Geographic disebutkan bahwa atlet atlet negara negara besar sudah menggunakan kecerdasan buatan beserta robot robotnya untuk menganalisa kecepatan, ketepatan, power dan stamina atlet. Begitu terjadi kekalahan, mereka segera melakukan evaluasi dengan berbagai simulasi. Sebaliknya ketika atlet kita kalah, hujatan, cacian dan makian oleh para pengguna sosial media menutupi segalanya. Demikian pula ketika bencana dan hal lain yang terjadi di negeri ini, terlalu sedikit orang yang fokus pada solusi dan terlalu banyak orang yang berkomentar di sosial media yang platformnya tidak satupun diciptakan oleh anak negeri.

Sekolah, menurut saya, harus berubah. 30 tahun sudah berlalu, cara belajar harus disesuaikan dengan tuntutan dunia yang berubah bila kita tidak mau tetap hidup bagai bangsa barbar di dunia yang sudah maju terlampau jauh.

Sekian.

Kehilangan

IMG_20180611_063336Membaca postingan salah satu selebriti yang baru saja kehilangan calon bayi di kandungan yang belum berusia 8 minggu, mengingatkan saya pada apa yang saya alami 11 tahun lalu.

Dia adalah buah cinta pertama kami. Dia hadir setelah 2 tahun pernikahan kami. Memang ketika baru menikah kami tidak ingin segera punya momongan, sehubungan kondisi ekonomi yang belum stabil dan juga sepertinya kami belum siap mental untuk membesarkan anak. Namun kami dan keluarga besar toh cukup excited ketika ternyata saya positif hamil meski tanpa direncanakan. Mereka merasa memang sudah waktunya kami punya bayi.

Bulan demi bulan, si jabang bayi dalam kandungan tumbuh sehat dan tidak ada masalah berarti. Hanya keluhan yang biasa terjadi pada beberapa bumil, dimana pada kehamilan saya, saya mengalami reaksi alergi dengan jenis makanan tertentu yang tidak terjadi sebelum adanya jabang bayi.. Rasa gatal menuju panas yang emmbuat saya sempat menangis malam malam juga kulit jari jari kaki yang mirip orang kudisan menemani masa masa kehamilan saya. Namun ketika menuju trisemester ketiga, fokus saya lebih teralihkan dengan excitement mempersiapkan kebutuhan si bayi. Dari baju baju baby lucu, cradle, selimut, gendongan, dst..

Sampai di suatu pagi pada saat usia kandungan saya berumur 8,5 bulan, kurang lebih 2 minggu sebelum kelahiran, saya merasakan sesuatu yang janggal. Sepertinya si kecil tidak bergerak aktif seperti biasanya ya.. Apa dia belum bangun? Ah, mungkin dia belum bangun, pikir saya saat itu. Dan karena saya adalah guru anak anak dan kelas hari itu cukup padat, maka saya segera lupa dengan si adek yang masih tidur, pun karena mengajar anak anak membutuhkan gerak fisik yang cukup banyak sehingga saya tidak menyadari apakah si adek sudah bermain main dalam perut saya atau belum. Setelah saya pulang ke rumah, saya baru bilang ke suami, “sepertinya kok adek gak aktif seperti biasanya ya..?”. Suami yang juga awam soal ini hanya menjawab, “Masak sih? Mungkin kamu kecapaian? istirahat aja dulu”. Malam itu saya tak bisa tidur. Saya terus mencoba merasakan gerakan sepelan apapun dari perut saya. Setengah putus asa, keesokan paginya segera saya ajak suami ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan dengan jantung yang sudah berdebar debar, saya terus mencoba memanggil si adek, “dek… dek… kamu dimana sih… ayo dong bangun..”. Tidak ada jawaban. “Dek, kasi mami kiss dong.. please”. Tetap tidak ada jawaban. Sesampai di rumah sakit, suster langsung membawakan saya alat untuk mendengarkan detak jantung janin. Cukup lama alat itu diputar kesana kemari seputar perut, mencoba berbagai sisi, namun hasilnya tetap tidak terdengar bunyi detak jantung. Suster hanya bilang, “segera konsultasi ke dokter Bu”. Sambil menahan air mata yang sudah hampir pecah dan kepanikan yang tiba tiba menyergap, saya minta suami untuk mengantar saya ke laboratorium untuk USG 3 dimensi sebelum saya menemui dokter kandungan yang menangani saya. Besaran biaya USG 3 D sudah tidak lagi kami pikirkan, yang penting adek. Dia pasti tidur. Tertidur. Ya, mungkin dia ikut capek karena kemarin saya capek seharian. Begitu hibur saya pada diri saya sendiri. Di laboratorium, sembari menunggu antrian, saya terus berdoa sambil perlahan melepaskan air mata yang sudah saya tahan sejak tadi. “Tolong ya Tuhan, tolong, jangan biarkan sesuatu terjadi pada adek… tolong ya Tuhan.. tolong.. saya sungguh menginginkan bayi ini.. saya siap merawat dia, membesarkan dia.. tolong Tuhan.. ampuni saya.. ampuni saya…” sambil terus saya mengusap usap perut. Sudah tidak ada pembicaraan lagi antara saya dan suami. Tapi saya tahu, suami pun sedang sibuk dengan pikirannya sendiri soal ini.

Tiba giliran saya untuk diperiksa, kembali denyut itu dicari di seputar perut saya, berkali kali. Tidak ada hasil. Dokter berkata, “bayi ibu sudah tiada”. Apa maksutnya, dok? “Ya, dia sudah meninggal di dalam kandungan”. Gak mungkin.. gak mungkin… dia masih sehat kemarin kemarin.. masih aktif, sangat aktif..  “Semua bisa terjadi Bu..”. Dan seketika sayapun tiba tiba seperti kehilangan rasa.

“Adek tetap harus dilahirkan normal, Pak”, kata dokter kandungan yang menangani saya ke suami. “Saya tidak menyarankan operasi, karena Ibu akan mengalami kesakitan double,  sakit pasca operasi dan psikis yang juga tidak bisa segera pulih”. Singkat cerita, adek dilahirkan normal.. dan benar kata dokter, sakit mengejan tidak ada apa apanya dibandingkan dengan sakit hati yang merasakan kehilangan seorang bayi. Adek lahir sebagai seorang bayi utuh, tampak sehat dan sama sekali belum membiru, meski kata dokter sudah beberapa waktu lamanya dia tiada. Dengan berat 2,35 kg dia tampak sudah siap menyambut dunia, hanya saja matanya tertutup rapat, tidak bergerak meski bibirnya yang merah tersungging sedikit senyum. Tidak terkatakan yang saya rasakan saat itu..  just speechless. .

Sampai beberapa minggu kemudian, saya masih belum bisa stabil. Malam malam sering terbangun, seperti ada yang hilang di dalam sini. Perasaan bersalah dan rindu tercampur menjadi sangat menyakitkan. Terlebih ketika saya harus memompa air susu untuk selanjutnya dibuang sia sia.

Suami saya terus mengatakan, “sudahlah mam, sudah, kamu harus bangun lagi”.yang kemudian malah menyulut kemarahan saya. Saya juga diminta untuk segera berkegiatan lagi, agar segera bisa move on. Tapi nasihatnya itu malah justru membuat saya makin merasa benci padanya, saya merasa dia tidak berempati. Kebetulan kakak saya yang tinggal di luar kota sering menelpon dan mengatakan, “menangislah.. just cry it out.. it’s okay.. memang terasa ada lubang gelap di dalam hati.. it’s okay, cry it out..” Dan sayapun sanggup menangis berjam jam lamanya..

Setahun kemudian, saya kembali hamil. Kali ini memang direncanakan dengan sungguh sungguh, sampai kami harus bolak balik berkonsultasi ke dokter. Bersyukur, anak ke-2 kami lahir sehat meski sepanjang masa kehamilan, saya cukup diliputi oleh kekawatiran. Sekarang anak ke-2 kami sudah berusia 9 tahun. Dan ternyata rasa kehilangan adek itu masih sering muncul, meskipun seiring berjalannya waktu, rasa kehilangan itu sudah tidak lagi menyakitkan. Semua orang yang saya temui selalu menasihati, bahwa itu adalah yang terbaik. Ya, benar. Tapi buat seorang ibu, yang terikat darah dan daging dengan bayinya, rasa itu memang sulit dinalar dengan logika… butuh pengertian dari sekitar baik pasangan dan keluarga bahwa kita butuh waktu. Bukan waktu untuk melupakan, tapi waktu untuk menerima bahwa kehilangan itu sudah menjadi bagian dari kita dan itu tidak lagi menyakitkan.

Recovery is a process, it takes time, it takes patience.

Have a nice day!    .  .